Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Apoteker dalam Promosi Pemberian Obat Keras tanpa Resep Dokter di Era Revolusi 4.0

Authors

  • Ulfi Damayanti Universitas Narotama Surabaya, Indonesia
  • Tanudjaja Tanudjaja Universitas Narotama Surabaya, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.38035/jihhp.v5i3.4456

Keywords:

Pertanggungjawaban pidana, Apoteker, Promosi, Pemberian, Obat Keras, Tanpa resep dokter, era revolusi 4.0

Abstract

Ketika seseorang sakit maka seseorang akan berusaha untuk sehat kembali dan upaya pengobatan awal yang sering dilakukan seseorang untuk sembuh adalah dengan cara Swamedikasi (Self medication) yaitu penggunan obat – obatan dengan maksud terapi tanpa saran dari professional atau tanpa resep. Kenyataan yang didapat tinggi persentase masyarakat yang melakukan swamedikasi atau pengobatan sendiri tidak diimbangi dengan presentase pengetahuan yang baik. Masih banyak masyarakat kurang memahami akan pengetahuan terkait efek samping, jenis golongan dan lama penggunaan obat dalam melakukan swamedikasi. Dengan banyaknya masyarakat yang melakukan swamedikasi maka informasi mengenai obat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka juga semakin diperlukan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Perihal Pekerjaan Kefarmasian, Pasal 21 ayat (2) Menjelaskan Apoteker merupakan seorang atau profesi yang di bolehkan melayani pemberikan obat. Disini apoteker memiliki peran krusial dalam menjaga kesehatan masyarakat. Penjualan obat keras tanpa resep dokter merupakan tindakan yang beresiko untuk menyebabkan kerugian karena tidak atas resep dokter. Obat keras yang dibeli bisa jadi merupakan obat yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien dan dapat berdampak buruk pada kesehatan pasien. Diera revolusi 4.0 telah merubah berbagai pola perilaku masyarakat dalam memanfaatkan teknologi untuk mendapatkan beragam kemudahan, termasuk dalam bidang kesehatan. Salah satu sektor yang ikut terdampak adalah industri farmasi, yang mengalami perubahan secara signifikan dalam hal teknologi dan inovasi. Salah satu perubahan yang terjadi adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat. Teknologi ini telah memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi terkait kesehatan secara bebas termasuk informasi tentang obat. Berkembangnya penggunaan teknologi dan media sosial saat ini mengubah pola interaksi konsumen dimana yang dahulu pasif menjadi aktif untuk mencari informasi kesehatan dari website yang sifatnya satu arah ( menerima informasi ) dan saat ini banyak bermunculan media sosial yang bersifat dua arah ( menerima dan menyebarkan informasi ). Fungsi media sosial tidak hanya sebagai alat rekreasi tetapi juga penting sebagai penyedia pasar yang besar untuk promosi kesehatan sehingga peran apoteker menjadi semakin penting untuk memastikan kualitas pelayanan farmasi yang memadai dan aman dalam memberikan informasi yang tepat tentang obat kepada pasien ataupun konsumen. Selain promosi penjualan obat di era ini apoteker dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memberikan edukasi obat kepada masyarakat. Edukasi obat ini dapat dilakukan melalui berbagai platform, seperti media sosial, website, dan aplikasi mobile. Edukasi obat yang dilakukan oleh apoteker di era Revolusi 4.0 memiliki beberapa kelebihan, salah satunya dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas dan dapat dilakukan secara interaktif dan menarik. Namun di sisi lain, edukasi obat yang dilakukan oleh apoteker di era revolusi 4.0 juga dapat menimbulkan permasalahan hukum bilamana tidak dilakukan secara bijak misalnya apoteker melakukan promosi jenis obat keras tanpa memberitahu bahwasanya untuk mendapatkan obat tersebut harus melalui resep dokter. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaturan dan pemidanaan terhadap Apoteker dalam promosi pemberian obat keras tanpa resep dokter di era revolusi 4.0, dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang – undangan (law in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan pedoman patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas dan penelitian ini menggunakan Pendekatan masalah perundang – undangan ( Statue Approach) yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang – undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan hukum yang sedang dibahas.

References

Andi, Hamzah Andi, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta . 2005, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta . Andi, 2005, Asas – Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta , 2005.

Asyhadie, Zaeni. Aspek-aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017.

Hartini, Sri,Yustina Dan Sulasmon, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang – Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah Dan Ulasan Permenkes Tentang Apotek Rakyat Edisi Revisi Cetakan Ketiga, Univesitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2010.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MENKES/Sk/VII/1990 Tentang Obat Wajib Pajak.

Moh, Hatta, Hukum Kesehatan Dan Sengketa Medik Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta 2013.

PT Umitoha Ukhuwah Grafika, Makassar, 2014.

Sartono, Apa Yang Sebaiknya Anda Ketahui Tentang Obat –Obatan bebas dan Bebas Terbatas, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Syahruddin, Nawi. Penelitian Hukum Normatif versus Penelitian Hukum Empiris.

Undang – Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang – Undang Obat Keras. St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949

Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, LN.No.3817.

Undang –Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, LN.No.3817.

Downloads

Published

2025-03-14

How to Cite

Damayanti, U., & Tanudjaja, T. (2025). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Apoteker dalam Promosi Pemberian Obat Keras tanpa Resep Dokter di Era Revolusi 4.0. Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora Dan Politik, 5(3), 2567–2581. https://doi.org/10.38035/jihhp.v5i3.4456